spongebob

Sabtu, 25 April 2015

Psychoanalysis



Fitri Andriyani
Theory of Literature
Psikoanalisis Sigmund Freud
            Sigmund Freud membedakan tiga sistem dalam hidup psikis, yaitu: Id, Ego dan Superego. Dalam istilah psikoanalisis, tiga faktor ini dikenal juga sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis.
            Id adalah lapisan psikis yang paling mendasar dan merupakan kawasan dimana Eros dan Thanatos berkuasa. Disitu terdapat naluri bawaan (seksual dan agresif) dan keinginan yang direpresi. Freud menyatakan bahwa kepribadian manusia sangat tergantung pada alam bawah sadar (Id). Alam bawah sadar memiliki porsi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan alam sadar. Kehidupan psikis janin sebelum lahir dan bayi yang baru lahir hanya terdiri dari Id saja. Dan Id ini menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis yang lebih lanjut. Id tidak pernah terpengaruh oleh kontrol pihak Ego dan prinsip realitas. Disitu prinsip kesenangan masih mahakuasa. Dalam Id tidak dikenal urutan menurut waktu, bahkan Id sama sekali tidak mengenal waktu (timeless). Hukum-hukum logika (khususnya prinsip kontradiksi) tidak berlaku bagi Id, tetapi sudah ada struktur tertentu, berkat pertentangan antara dua naluri yaitu naluri-naluri kehidupan dan naluri-naluri kematian.
            Ego tidak boleh disamakan dengan apa yang dalam psikologi nonanalitis diberi nama Ego atau Aku. Menurut Freud, Ego terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar, khusunya orang di sekitar bayi kecil severti orang tua, engasuh, dan kakak adik. Aktivitasnya bersifat sadar, prasadar maupun tak sadar. Untuk sebagian besar Ego bersifat sadar dan sebagai contoh aktivitas sadar dapat disebut: persepsi lahiriah, persepsi batin, proses-proses intelektual. Sebagai contoh tentang aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan. Ego seluruhnya dikuasai oleh prinsip realitas, seperti tampak dalam pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang rasional dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Tugas Ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, juga untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang mau masuk ke kesadaran dan apa yang akan dikerjakan. Akhirnya, Ego menjamin kesatuan kepribadian: dengan kata lain, berfungsi mengadakan sintesis.
            Superego dibentuk melalui internalisasi, ), yaitu larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan kata lain, Superego merupakan hasil internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari diri subjek sendiri. Superego merupakan dasar hati nurani moral. Aktivitas Superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego yang dirasakan dalam emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dsb. Sikap-sikap seperti observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari Superego. Superego terus berkembang seiring dengan pertumbuhan dan pengetahuan pribadi seseorang dimana ia menemukan sosok, sistem aturan atau pikiran-pikiran yang diketahuinya dari pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.

Cultural Studies
            Istilah ini ditemukan oleh Richard Hoggart pada tahun 1964, pendiri Birmingham Centre For Cultural Studies dengan salah satu suksesor terkuatnya Stuart Hall. Tahun 1970, Stuart Hall mengadakan gerakan intelektual internasional, dengan menggunakan metode Marxist mengeksplor hubungan antara budaya (superstruktur) dan ekonomi politik (dasar) sesuai dengan pendapat Gramsci bahwa “budaya adalah kunci politik dan kontrol sosial”.
            Cultural studies itu sendiri mempunyai beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker (via Storey, 2003), antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada:
1.      Hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan;
2.      Seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembaga-lembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.
3.      Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan.
4.      Cultural studies terkait dengan semua pihak, institusi dan sistem klasifikasi tempat tertanamnya nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, kompetensi-kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat.
Cultural studies adalah arena plural dari berbagai perspektif yang bersaing, lewat produksi teori ia berusaha mengintervensi politik budaya. Cultural studies mengeksplorasi kebudayaan sebagai praktik pemaknaan dalam konteks kekuatan sosial. Dalam usaha ini, cultural studies tidak hanya berpusat dalam satu titik saja namun kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada.  berbagai teori, termasuk Marxisme, Strukturalisme, Pascastrukturalisme, dan Feminisme.
Cultur studies adalah suatu arena interdisiplener dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dapat digunakan untuk mengkaji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Cultural studies terkait dengan semua praktik, institusi dan sistem klasifikasi tempat tertanamnya nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, kompetensi-kompetensi, rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku suatu masyarakat. bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh kultural studies beragam, termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dan lain sebagainya.
Cultural studies berusaha mngekplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah agen dalam upaya melakukan perubahan. Arena institusional utama cultural studies adalah perguruan tinggi, dan dengan demikian cultural studies menjadi mirip dengan disiplin-disiplin akademis lain. Namun, ia mencoba membangun hubungan diluar akademi dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam institusi-institusi kultural dan manajemen kultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar