Fitri
Andriyani
Theory
of Literature
Psikoanalisis Sigmund
Freud
Sigmund Freud membedakan tiga sistem
dalam hidup psikis, yaitu: Id, Ego dan Superego. Dalam istilah psikoanalisis,
tiga faktor ini dikenal juga sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis.
Id adalah lapisan psikis yang paling
mendasar dan merupakan kawasan dimana Eros dan Thanatos berkuasa. Disitu
terdapat naluri bawaan (seksual dan agresif) dan keinginan yang direpresi.
Freud menyatakan bahwa kepribadian manusia sangat tergantung pada alam bawah
sadar (Id). Alam bawah sadar memiliki porsi yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan alam sadar. Kehidupan psikis janin sebelum lahir dan bayi yang baru
lahir hanya terdiri dari Id saja. Dan Id ini menjadi bahan dasar bagi
pembentukan hidup psikis yang lebih lanjut. Id tidak pernah terpengaruh oleh
kontrol pihak Ego dan prinsip realitas. Disitu prinsip kesenangan masih
mahakuasa. Dalam Id tidak dikenal urutan menurut waktu, bahkan Id sama sekali
tidak mengenal waktu (timeless). Hukum-hukum logika (khususnya prinsip
kontradiksi) tidak berlaku bagi Id, tetapi sudah ada struktur tertentu, berkat
pertentangan antara dua naluri yaitu naluri-naluri kehidupan dan naluri-naluri
kematian.
Ego tidak boleh disamakan dengan apa
yang dalam psikologi nonanalitis diberi nama Ego atau Aku. Menurut Freud, Ego
terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar,
khusunya orang di sekitar bayi kecil severti orang tua, engasuh, dan kakak
adik. Aktivitasnya bersifat sadar, prasadar maupun tak sadar. Untuk sebagian
besar Ego bersifat sadar dan sebagai contoh aktivitas sadar dapat disebut:
persepsi lahiriah, persepsi batin, proses-proses intelektual. Sebagai contoh
tentang aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan. Ego seluruhnya
dikuasai oleh prinsip realitas, seperti tampak dalam pemikiran yang objektif,
yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial, yang rasional dan mengungkapkan
diri melalui bahasa. Tugas Ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya
sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, juga untuk
memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara
keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa
yang mau masuk ke kesadaran dan apa yang akan dikerjakan. Akhirnya, Ego
menjamin kesatuan kepribadian: dengan kata lain, berfungsi mengadakan sintesis.
Superego dibentuk melalui
internalisasi, ), yaitu larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal
dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga
akhirnya terpancar dari dalam. Dengan kata lain, Superego merupakan hasil
internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya
merupakan sesuatu yang “asing” akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal
dari diri subjek sendiri. Superego merupakan dasar hati nurani moral. Aktivitas
Superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego yang dirasakan dalam
emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dsb. Sikap-sikap seperti
observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari Superego. Superego terus
berkembang seiring dengan pertumbuhan dan pengetahuan pribadi seseorang dimana
ia menemukan sosok, sistem aturan atau pikiran-pikiran yang diketahuinya dari
pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.
Cultural Studies
Istilah ini ditemukan oleh Richard
Hoggart pada tahun 1964, pendiri Birmingham Centre For Cultural Studies dengan
salah satu suksesor terkuatnya Stuart Hall. Tahun 1970, Stuart Hall
mengadakan gerakan intelektual internasional, dengan menggunakan metode Marxist
mengeksplor hubungan antara budaya (superstruktur) dan ekonomi politik (dasar)
sesuai dengan pendapat Gramsci bahwa “budaya adalah kunci politik dan kontrol
sosial”.
Cultural studies itu sendiri
mempunyai beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker (via Storey,
2003), antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada:
1. Hubungan
atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan;
2. Seluruh
praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai
partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk
perilaku yang biasa dari sebuah populasi berbagai kaitan antara bentuk-bentuk
kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan
cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh
agen-agen dalam mengejar perubahan berbagai kaitan wacana di luar dunia
akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di
lembaga-lembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.
3. Cultural
studies adalah suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang
berlainan secara selektif dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan
dengan kekuasaan.
4. Cultural
studies terkait dengan semua pihak, institusi dan sistem klasifikasi tempat
tertanamnya nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, kompetensi-kompetensi,
rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat.
Cultural studies adalah arena plural
dari berbagai perspektif yang bersaing, lewat produksi teori ia berusaha
mengintervensi politik budaya. Cultural studies mengeksplorasi kebudayaan
sebagai praktik pemaknaan dalam konteks kekuatan sosial. Dalam usaha ini,
cultural studies tidak hanya berpusat dalam satu titik saja namun kajian budaya
mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan
secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang
sudah ada. berbagai teori, termasuk
Marxisme, Strukturalisme, Pascastrukturalisme, dan Feminisme.
Cultur studies adalah suatu arena
interdisiplener dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif
dapat digunakan untuk mengkaji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Cultural
studies terkait dengan semua praktik, institusi dan sistem klasifikasi tempat
tertanamnya nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, kompetensi-kompetensi,
rutinitas kehidupan dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku suatu masyarakat.
bentuk-bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh kultural studies beragam,
termasuk gender, ras, kelas, kolonialisme, dan lain sebagainya.
Cultural studies berusaha mngekplorasi
hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara
berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah
agen dalam upaya melakukan perubahan. Arena institusional utama cultural studies
adalah perguruan tinggi, dan dengan demikian cultural studies menjadi mirip
dengan disiplin-disiplin akademis lain. Namun, ia mencoba membangun hubungan
diluar akademi dengan gerakan sosial dan gerakan politik, para pekerja dalam
institusi-institusi kultural dan manajemen kultural.